Jimat dari Ayat Al-Qur’an
Jimat bahasa ‘Arabnya adalah tamiimah (التَّمِيْمَةُ), yaitu sesuatu yang digantungkan pada orang sakit, anak-anak, atau hewan ternak untuk menolak ‘ain[1], atau penyakit-penyakit lainnya, dengan segala macam hal [An-Nihaayaholeh Ibnul-Atsiir 1/197, Tafsiir Al-Qurthubiy 10/319, danTaisiirul-‘Aziizil-Hamiid hal. 136 & 137].
Hukum menggantungkan jimat – jika bukan berasal dari Al-Qur’an atau dzikir-dzikir ma’tsuur – adalah haram, bahkan termasuk di antara macam-macam kesyirikan. Dalilnya adalah sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantera-mantera, jimat, dan tiwalah[2] adalah kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/381, Abu Daawud no. 3883, Ibnu Maajah no. 3530, Ibnu Hiibbaan no. 6090, dan yang lainnya dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu; shahih].
Adapun jimat yang berasal dari Al-Qur’an dan dzikir-dzikir ma’tsur, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama membolehkan, dan sebagian yang lain melarang.
1. Membolehkan.
Ini adalah pendapat sebagian salaf dan jumhur fuqahaa’ dari kalangan Hanafiyyah[3], Maalikiyyah[4], Syaafi’iyyah[5], dan Hanaabilah[6].
Dalil yang mereka pakai adalah :
a. Firman Allah ta’ala :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” [QS. Al-Israa’ : 82].
b. Perkataan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
لَيْسَ التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ قَبْلَ الْبَلاءِ، إِنَّمَا التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ بَعْدَ الْبَلاءِ لِيُدْفَعَ بِهِ الْمَقَادِيرُ
“Bukan termasuk jimat (yang diharamkan) sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana tiba. Yang termasuk jimat itu hanyalah sesuatu yang digantungkan setelah musibah/bencana untuk menolak ketentuan/taqdir” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 9/350 (9/589) no. 19606].[7]
c. Perbuatan ‘Abdullah bin ‘Amru yang menuliskan dan menggantungkan doa pada anak-anaknya yang belum baligh :
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
“Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari bisikan-bisikan syaithaan serta kedatangannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3893, At-Tirmidziy no. 3528, dan yang lainnya[8]].
d. Atsar sebagian salaf (taabi’iin).
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَسَنِ، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا بَحْرُ بْنُ نَصْرٍ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي نَافِعُ بْنُ يَزِيدَ، ” أَنَّهُ سَأَلَ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ عَنِ الرُّقَى وَتَعْلِيقِ الْكُتُبِ، فَقَالَ: كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ يَأْمُرُ بِتَعْلِيقِ الْقُرْآنِ، وَقَالَ: لا بَأْسَ بِهِ “
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi Ishaaq dan Abu Bakr bin Al-Hasan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Ashamm : Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’ bin Yaziid : Bahwasannya ia pernah bertanya kepada Yahyaa bin Sa’iid tentang ruqyah dan menggantungkan tulisan. Ia menjawab : “Dulu Sa’iid bin Al-Musayyib memerintahkan untuk menggantungkan Al-Qur’an, dan ia berkata : ‘Tidak mengapa dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy (9/590) no. 19612; sanadnya shahih].
2. Melarang.
Ini adalah pendapat jumhur shahabat dan taabi’iin, Ahmad dalam satu riwayat[9], Ibnul-‘Arabiy[10] dari madzhab Maalikiyyah, dan sebagian ulama Hanaabilah.
Dalil yang mereka pakai adalah :
a. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ
“Jangan sampai ada lagi tali busur panah atau tali apapun di leher onta, kecuali mesti diputuskan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3005, Muslim no. 2115, Abu Daawud no. 2552, dan yang lainnya dari Ruwaifi’ bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu].
عَنْ عِيسَى، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ أَبِي مَعْبَدِ الْجُهَنِيِّ أَعُودُهُ وَبِهِ حُمْرَةٌ، فَقُلْنَا: أَلَا تُعَلِّقُ شَيْئًا، قَالَ:الْمَوْتُ أَقْرَبُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
Dari ‘Iisaa, ia berkata : Aku pernah datang menengok ‘Abdullah bin ‘Ukaim Abu Ma’bad Al-Juhhaniy yang sedang sakit humrah. Kami berkata : “Tidakkah engkau menggantung sesuatu ?”. Ia berkata : “Kematian lebih dekat dari hal itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu, maka ia akan senantiasa tergantung kepadanya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2072, Ahmad 3/411, Ibnu Abi Syaibah 7/371 (12/39-4) no. 23923, Al-Haakim 4/216, dan yang lainnya;hasan lighairihi].
Larangan menggantungkan jimat dalam dua hadits di atas umum, tidak membedakan antara yang berasal dari Al-Qur’an ataupun tidak.
b. Madzhab yang berlaku pada jumhur shahabat radliyallaahu ‘anhum dan taabi’iin.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ أَخْبَرَنَا مُغِيرَةُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: كَانُوا يَكْرَهُونَ التَّمَائِمَ كُلَّهَا، مِنَ الْقُرْآنِ وَغَيْرِ الْقُرْآنِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Mughiirah, dari Ibraahiim (An-Nakhaa’iy), ia berkata : “Mereka (yaitu : para shahabat dan taabi’iin) membenci semua jimat, baik yang berasal dari Al-Qur’aan maupun selain Al-Qur’aan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/374 (12/42) no. 23933. Diriwayatkan juga oleh Al-Qaasim bin Salaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 860; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ، قَالَ: سَأَلْتُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ رَجُلٍ كَانَ بِالْكُوفَةِ يَكْتُبُ مِنَ الْفَزَعِ آيَاتٍ، فَيَسْقِي الْمَرِيضَ، فَكَرِهَ ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada Ibraahiim tentang seseorang di Kuufah yang menulis ayat-ayat untuk perlindungan dari rasa takut, lalu memberikan minum kepada orang yang sakit; maka ia membenci hal tersebut “ [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 862; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا يُونُسُ ، عَنِ الْحَسَنِ ؛ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Al-Hasan : Bahwasannya ia membenci hal tersebut (yaitu : semua jimat, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun selainnya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/374 (12/42) no. 23934; sanadnya shahih].
c. Mengikuti kaedah saddudz-dzarii’ah.
Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata :
ولا شك أن منع ذلك أسد لذريعة الاعتقاد المحظور ، لا سيما في زماننا هذا ، فإنه إذا كرهه أكثر الصحابة والتابعين في تلك العصور الشريفة المقدسة والإيمان في قلوبهم أكبر من الجبال ، فلأن يكره في وقتنا هذا وقت الفتن والمحن أولى وأجدر بذلك ، كيف وهم قد توصلوا بهذه الرخص إلى محض المحرمات وجعلوها حيلة ووسيلة إليها ، فمن ذلك أنهم يكتبون في التعاويذ آية أو سورة أو بسملة أو نحو ذلك ثم يضعون تحتها من الطلاسم الشيطانية ما لا يعرفه إلا من اطلع على كتبهم……
“Dan tidak diragukan bahwa pelarangan hal tersebut dapat lebih mencegah sarana timbulnya keyakinan yang terlarang, khususnya pada jaman kita ini. Sesungguhnya jika perbuatan itu dibenci oleh kebanyakan shahabat dan taabi’iin pada waktu yang mulia lagi diberkahi, padahal keimanan yang ada pada hati-hati mereka lebih besar dibandingkan gunung, maka kebencian pada waktu kita sekarang – yaitu waktu yang penuh dengan fitnah dan cobaan – lebih layak dan pantas. Bagaimana tidak, (jika perbuatan itu diperbolehkan), maka mereka akan mempergunakan rukhshah (keringanan) ini pada hal-hal yang murni diharamkan. Mereka pun menjadikannya sebagai tipu daya dan sarana untuk menujunya (sesuatu yang diharamkan). Diantaranya, mereka menuliskan ayat, surat, atau basmalah, lalu meletakkan di atasnya mantera-mantera syaithaniyyah yang tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang menelaah kitab-kitab mereka……” [Ma’aarijul-Qabuul, 1/382].
Memperbolehkan menuliskan ayat atau dzikir-dzikir ma’tsuur dalam jimat yang selalu dibawa manusia akan menyebabkan terbawa ke tempat-tempat yang tidak layak.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الْمَعَاذَةَ لِلصِّبْيَانِ، وَيَقُولُ: إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ بِهِ الْخَلاءَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim : Bahwasannya ia membenci menuliskan doa perlindungan untuk anak-anak. Ia berkata : “Sesungguhnya mereka masuk ke kakus dengan tulisan doa tersebut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 23823; sanadnya shahih].
Tarjih
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang melarangnya. Dalil QS. Al-Israa’ : 82 adalah umum, dan ia mesti dibawa pada semua hal yang diperbolehkan oleh syari’at melalui nash. Menggantungkan jimat dari Al-Qur’an, doa, atau dzikir sama sekali tidak ternukil dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Seandainya beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkannya, niscaya beliau akan menjelaskannya sebagaimana beliau mengecualikan larangan ruqyah jika tidak mengandung kesyirikan.[11]
Atsar ‘Abdullah bin ‘Amru adalah lemah sehingga tidak bisa dipakai dalam pendalilan. Adapun atsar ‘Aaisyah, maka yang mahfudh adalah dengan lafadh :
التَّمَائِمُ: مَا عُلِّقَ قَبْلَ نُزُولِ الْبَلاءِ، وَمَا عُلِّقَ بَعْدَهُ، فَلَيْسَ بِتَمِيمَةٍ
“Jimat adalah sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana. Sedangkan sesuatu yang digantungkan setelahnya bukan termasuk jimat (yang diharamkan)”.
Atsar ini dapat dibawa pada pemahaman untuk pengobatan ruqyah, karena ia ada setelah adanya musibah (sakit atau semisalnya). Yaitu, ayat, doa, atau dzikir tersebut ditulis kemudian dibaca sebagaimana orang yang meruqyah (syar’iyyah).[12]
Apa yang dikhawatirkan ulama memang benar-benar terjadi bahwa banyak orang ‘memanfaatkan’ pendapat jumhur fuqahaa’ yang memperbolehkannya untuk melakukan praktek-praktek bid’ah dan kesyirikan. Ayat Al-Qur’an, doa, atau dzikir yang ma’tsuurhanyalah dipakai sebagai kedok, yang penulisannya dicampurkan dengan simbol, huruf, atau kalimat yang tidak dimengerti. Yang terakhir inilah yang membuat jimat berfungsi sebagai alat sihir para dukun (meski di antara mereka ada yang mengaku ustadz, kiyai, atau habib). Contohnya sebagai berikut :
Barang-barang inilah yang membonceng fatwa ulama madzhab. Banyak orang yang tertipu oleh para penipu karena keberadaan huruf atau kalimat Arabnya. Adakah orang yang bisa membaca dan memahami tulisan dan simbol dalam jimat-jimat di atas ?. Ya, ada, yaitu si dukun sendiri. Jimat-jimat yang seperti ini dibuat dan dipergunakan bukan seperti yang dijelaskan para fuqahaa’ Ahlus-Sunnah, akan tetapi dipergunakan untuk sarana bid’ah dan kesyirikan (ilmu kebal, pelet, anti tenung, tenaga dalam, dan lain-lain).[13]
Wallaahul-musta’aan.
Semoga Artikel Ini Bermanfaat.