Sunday, 8 June 2014

Terima Kasih, Aku Bahagia.


Datanglah jika kau merasa bosan di luar. Aku masih setia menunggumu di sini, mendengar kamu menangis meski tanpa air mata, menghapus keluh meski aku bukan Maha Dewa. Mendengar kamu berceloteh manja itu sangat nyaman, aku tak akan mengeluh, karena aku masih belum merasa lelah. Aku belum mau meninggalkanmu, karena hanya aku yang masih setia saat orang-orang terdekatmu pergi. Kembalilah saat kamu merasa bosan diluar sana, aku masih setia menunggumu di sini.
Begitulah kutulis kesetiaanku padamu, dahulu, dahulu sekali. Tapi tidak untuk saat ini.
Ibarat buah yang jatuh  dari batangnya, kamu membuangku. Aku hanya dapat diam memanjatkan doa pada langit yang Maha Tinggi, agar sekiranya aku dapat tumbuh besar tanpa pelukan dan kehidupanmu yang dahulu.
*****
Dini hari, di muka tahun 2014.
Hujan tidak segan mengiris tipis kulitku, tapi masih kalah dengan semangat membara yang meletup warna-warni ratusan kali di langit sana. Masih kalah dengan leletup yang menyayat hati, sepanjang malam ini. Apalagi kalau bukan karenamu. Apa lagi kalau bukan hubungan yang rebah tak berdaya lagi.
Di malam yang sama, pukul 19.00 Wib.
“Halo, Assalammualaikum” senyumku rekah, serekah langit tahun baru ini. Kamu menjawab sederhana dan manja salamku dari seberang telephone seperti biasa. Sikap yang tak akan mudah kulupakan kelak. “adek dimana?” tanyaku lantas melihat langit cerah ini sepertinya kedatangan awan basah.
“aku di rumah a’ ” Jawabmu singkat.
“oh, jalan-jalan yuk, lihat kembang api?”
“emm..” nadamu seperti ragu dengan ajakanku.
“dek?”
“eh, iya a’ ”  lagi, kamu menjawabku dengan kaget.
“jadi gimana? Mau kan jalan-jalan sama aa’? Tahun baru, siapa tahu jadi awal tahun yang baik buat kita. Tapi abang cuman ada uang 100 ribu nih, gimana?” seperti biasa, aku selalu memberitahu akan membawa uang berapa sebelum nanti diperjalanan malah merepotkan kalau ternyata malah diajak jalan ketempat yang eksklusif.
“hm, kamu bawa motor atau bawa mobil?”
“biasa, aa’ bawa motor dek, soalnya mobil lagi dipakai papa dan kamu juga tau sendiri, kan kalau aa’ nggak bisa bawa mobil”
“duh, gimana yah” dari sini, aku merasakan keraguanmu “enggak deh a’ kalau pakai motor, tapi kalau pakai mobil walaupun cuma ada uang 100 ribu nggak apa-apa, tapi kalau pakai motor nggak dulu deh, a’ ”
“oh ya udah kalau gitu kita putus aja ya?” tanyaku kesal.
“ya udah!” jawabmu singkat seperti tidak merasa kehilangan.
“ya udah”
Tuttt... kututup telephone. Kecantikan menyombongkanmu. Kekayaan membuatmu angkuh dan keegoanmu yang begitu tinggi memudarkan hatiku.
*****
Percayakah kamu pada takdir? Kalau segala yang terjadi di dunia ini bukanlah sebuah kebetulan, bukan, bukan sesuatu yang tidak disengaja. Hidup ini adalah rencana Tuhan yang paling teliti. Seperti pertemuan dan perpisahan, mereka yang datang dan pergi, kita dipertemukan mungkin saja untuk sebuah alasan; kedewasaan.
Apa pun yang terjadi kita tidak pernah bisa menebak. Kita lebih sering menitipkan harapan pada langit, dan lupa kalau suatu saat harapan itu juga akan habis dan habis, dengan idzin Tuhan kita bertemu dan berpisah. Kita selalu percaya, bintang adalah kumpulan titik-titik cahaya yang mengapung di langit sana, selalu, dan terus ada di langit dengan segala hal yang mengikatnya kepada keadaan. Mengikatnya dengan bulan yang tidak memiliki cahaya, agar ketika rembulan menyipit, masih ada bintang-bintang indah menulis kata setia pada langit malam. Ya, aku adalah salah satu orang konyol yang mempercayai filosofi kesetiaan ini. Tentang mereka yang selalu berjanji untuk berbagi waktu dan kesempatan, meski tidak selalu bahagia. Bukankah itu yang selalu dilakukan bintang dan langit malam? Pasangan yang bercerita tentang musim-musim yang berubah, yang bercerita tentang kesaksian bisu kata setia.
*****
Kamu adalah musim yang berubah, mengajarkan ‘ku tentang kasih sayang dan rasa sakit dalam waktu yang tidak lama. Aku ingat warna langit abu-abu waktu pertama kali melihatmu. Langit senja yang selalu mengintip di balik kaca jendela yang sembab, hujan baru saja merampas merahnya itu.
Universitas Batam. Ruang empat kali empat meter yang menjadi semesta pertemuanku denganmu. Bagiku yang mahasiswa baru, wajar kalau aku masih mengeja satu per satu nama rekan-rekan sejawat; seperti mengeja namamu, seperti mengeja wajah cantikmu dan segala hal yang baru.
“In-tan Ri-sa-la” ujarku mengeja namamu di kertas hijau yang baru saja tiba di mejaku. Sebuah kertas absensi, yang juga berisi data nomor kontak personal.
“apaan? Kok namaku diejai begitu?”
“eh, itu namamu? Haha... maaf cuma baca. Kenalin, aku alan. Cep Alan Suhendar” ujarku sedikit canggung karena kepergok kamu, mengeja seperti itu.
“haha... iya, nggak apa-apa kok” senyum merah meronamu, memaku pas kena hatiku.
Itu adalah hal memalukan pertama kali saat bertemu kamu di perkuliahan yang juga hari pertama, di kelas yang pertama. Aku langsung menghapal nomor kontakmu. Perkenalan selanjutnya, seperti kebanyakan perkenalan melalui mobile phone, berjalan cepat, tanpa basa-basi dan terkesan sempurna. Segala hal tentangmu selalu bahagia bagiku. Mengenalmu lebih jauh dan jauh, jauh membawa hatiku mencintaimu lebih dalam. Sampai akhirnya kita melengkapi bahagia ini dengan sebuah hubungan yang enak didengar. Pacar.
Sepanjang hubungan, kita berjalan tidak semulus kulit cantikmu. Jalan kita kadang menikung tajam, menemui simpang dan kita sulit menemukan harus jalan seperti apa.
*****
Jelang Festival Kembang Api Engku Putri 2014.
Karena malam ini adalah malam paling menyakitkan, kuurungkan niat berdesakkan dengan para pengunjung Engku Putri untuk sekedar menikmati riak-riuhnya pesta penghujung tahun ini. Aku hanya menyusuri beberapa puluh meter Pavin Blok dan kemudian sampai di house Coffe kesayangan. Menyeruput kopi panas mungkin saja bisa membakar habis kenangan tentangmu, pikirku. Beberapa kali teman-teman mengajakku melalui BBM untuk ikut berkumpul dengan mereka merayakan malam pergantian tahun di Ocarina, tempat yang cukup jauh dari sini kalau harus berjalan kaki. Di jam-jam seperti ini akan sangat sulit bagiku mengeluarkan kendaraan dari tempat parkir. Mengingat keramaian yang sangat padat dan keadaan langit sedikit mendung telah membuatku harus bertahan di House Coffe  kesayangan ini. Tempat yang selalu aku kunjungi setiap kali bermasalah, atau sekedar ingin menenangkan diri. Pahitnya kopi membuatku memaknai pahitnya perjalanan yang mau tak mau harus kutelan sendiri. Sendiri, bukan berdua seperti saat kamu salah meminum kopiku, padahal yang kamu pesan adalah coklat panas.
Langit yang cerah berganti dengan beberapa kali serbuan rerintik langit, seperti sedang tahu dengan kesedihanku malam ini, langit ikut menitipkan hujan pada daun-daun dan malam agar suasana hatiku di malam pergantian tahun ini semakin syahdu sendu.
Kopi panasku mengepul penuh angkara, beberapa hirupan sudah kuminum panasnya yang pahit itu. Kopiku hanya tinggal separuh sebelum akhirnya kulihat seorang teman masa kecilku melintas dengan wajah yang cukup sumringah.
“Andi?” kataku agak ragu saat dia melintasi mejaku.
“hei, Lan, apa kabar?” Andi juga kaget melihatku setengah tidak percaya. Kami adalah sehabat masa kecil yang terlalu lama hilang dari peredaran.
 “baik. Katanya kamu kuliah di luar? Wah, liburan nih...”
“ah, enggak Lan, ini akunya juga sudah dua minggu di Batam. Memang ada rencana kuliah di sini lagi. Kasihan bokap sakit-sakitan sekarang. Kalo nyokap  masih ada mah enak, ada yang rawat.” Ujarnya sembari menarik kursi selepas menjabat tanganku. Jabatan tangan seorang yang memang kuakui kharismanya sebagai orang kaya di komplek tempat tinggalku.
“uh, jadi nggak enak nih. Mau pesen minum apa? Aku yang teraktir deh malem ini”
“ah, gak usah lan. Aku gak lama, mau jalan lagi. Kasihan ada yang nunggu aku di mobil”
“ayolah, sudah hampir sepuluh tahun kita nggak jumpa. Pergi bermain layang-layang, atau manjatin pohon mangga pak ali sampai kita lari dikejar-kejar sepanjang komplek dan sembunyi di belakang WC umum waktu dulu, masih ingat, kan?” ujarku bersemangat mengingat-ingat kembali kejadian paling lucu waktu kecil dulu dengan sahabat yang sekarang nyaris salah kukenali dengan penampilannya yang modis malam ini.
Andi terbahak-bahak mendengar pertanyaan iseng ‘ku. “iya, aku inget. Waktu itu kamu sampe keringet dingin, kan? Dan gegara kamu kaget melihat kecoa akhirnya kita malah ditangkap tangan pak RT sebagai pencuri mangga komplek perumahan kita”
“iya. Sayang banget ya, padahal persembunyian kita nyaris sukses... hahaha...” kami tertawa lepas, mengingat-ingat kejadian masa kecil yang hari ini akan sangat mahal sekali kalau harus ditukar dengan Rupiah. Memainkan masa lalu ternyata tidak melulu luka.
Mengingat luka, kepalaku seperti terbentur batu keras. Mataku tak dapat menolak limbung hati ini, tak dapat menepiskan bahwa malam ini aku sedang patah hati. Cerita kecil yang mengantarkan ‘ku ketempat lain selain kecewa ternyata tak bertahan lama.
“kamu kenapa sendirian? Tahun baru, malahan galau? Hahaha...” melihat Andi menertawakanku seperti itu, aku sedikit kesal
“ah, kamu aja sendirian, bergaya punya pacar” sindirku sambil menyeruput kopiku “kamu beneran gak mau pesen minum, ndi?”
“hei. Aku lagi bahagia, lho. Karena aku sudah ada yang menunggu di mobil jadi aku gak bisa lama. Aku baru jadian bro, baru beberapa jam” Andi mengangkat sebelah alis mengeyakkan perasaanku yang lagi menganga luka.
“ah, kenapa nggak dikenalin sama aku sih? Teganya...”
“hahaha, jangan! Nanti kamu rampas kebahagiaanku” lagi, andi mengejekku dengan wajah innocent-nya itu
“yasudah, nanti aku anter kamu ke mobil. Secantik apa sih, perempuan yang sudah membuat sahabat kecilku ini sumringah. Oh iya, kamu jurusan kedokteran, kan? Pindah ke Kampusku aja, di UNIBA ada jurusan kedokteran, kok”
“UNIBA?” sekarang Andi kaget sambil maju sedikit dari posisi duduknya.
“iya aku di UNIBA, Universitas Batam”
“wah, iya pacar aku juga barusan minta aku juga kuliahnya pindah ke UNIBA. Karena di sini cuma ada di UNIBA jurusan kedokterannya, kan? Kamu jurusan apa, Lan?”
“wah, aku mah yang pasti bukan kedokteran, lah. Aku jurusan Sistem Informasi”
“SI?” lagi, wajah kaget si Andi membuatku gerah.
“iya, kamu kenapa sih? Eh, bentar lagi festival kembang apinya dimulai, nih” ujarku melirik jam. Tidak lupa kuseruput kopiku yang memang sudah tinggal se-iprit.
“yaudah yuk, aku kenalin dengan pacarku. Bahagiaku lengkap malam ini, lan. Selain memang aku baru jadian, aku juga seneng bisa ketemu sahabat kecilku.
Kami pun beranjak ke parkiran menuju mobil Andi yang sudah terparkir gagah di depan lentera merah-kuning di depan House coffe. Saat baru akan tiba, festival kembang api meletup warna warni di Langit sana. Dinginnya angin yang basah, tidak mengurungkan tahun ini berganti.
Di tahun yang baru ini, aku begitu ingin melihatmu sekali lagi. Bahagia, meskipun tidak bersamaku lagi. In-tan Ri-sa-la. Kueja kembali namamu seperti pertama kali bertemu waktu itu, di ruangan empat kali empat meter yang menjadi semesta pertemuanku denganmu. Kueja sekali lagi, tidak dengan berbisik seperti dulu. Hanya mengeja namamu ulang di dalam hati kecil dengan harapan kita akan bertemu dengan kebahagiaan kita masing-masing.
“kamu lama banget, sih ndi. Aku kan udah ngantuk nungguin kamu” seorang perempuan cantik, putih bersih keluar dari mobil Andi dan langsung memeluknya manja.
“hehe, maaf ya sayang, aku ketemu sahabat kecilku. Kami udah lama banget nggak ketemu. Hampir sepuluh tahun” kata andi melepaskan pelukan perempuan yang dia sebut pacar itu. Aku datang dari arah belakang mobil, melihat pesta akhir tahun memang akan sangat warna-warni sekali. Entah bahagia, entah luka. Semuanya menjadi hal yang terus bergantian menduduki hati.
Saat perempuan itu menoleh ke arah ‘ku, aku sangat kaget. Selain memang perempuan itu cantik, dia memang pantas berada dalam pelukan Andi.
Hujan yang tidak segan mengiris tipis kulitku masih kalah dengan semangat membara yang meletup warna-warni ratusan kali di langit sana. Masih kalah dengan leletup yang menyayat hati, sepanjang malam ini. Apalagi kalau bukan karenamu. Apa lagi kalau bukan hubungan yang rebah tak berdaya lagi.
“kenalin, pacarku. Intan. Intan Risala” ujar Andi dengan bahagianya. Aku hanya kikuk dengan perkenalan ini. Perkenalan mula, dan akhir dari segalanya. Terimakasih, aku bahagia melihatmu pergi dengan bahagia malam ini dalam pelukan orang yang tepat, yang akan memenuhi semua kebahagiaanmu nantinya.
Pertemuan yang memang kuharapkan malam ini, ternyata diijabah oleh Tuhan. Sepertinya hidup memang bukan sebuah kebetulan.
Percayakah kamu pada takdir? Kalau segala yang terjadi di dunia ini bukanlah sebuah kebetulan, bukan, bukan sesuatu yang tidak disengaja. Hidup ini adalah rencana Tuhan yang paling teliti. Seperti pertemuan dan perpisahan, mereka yang datang dan pergi, kita dipertemukan mungkin saja untuk sebuah alasan; kedewasaan.
Terimakasih, Tuhan. Aku ikut bahagia dengan tawa lepasnya.


***** Tamat *****




Karya : Cep Alan Suhendar

0 comments:

Post a Comment